Kisah perjalanan seorang ODHA di Samarinda.
Awalnya
saya gak menyangka seorang wanita itu adalah ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS.
Saya sendiri bisa bertemu wanita itu di sebuah pelatihan jurnalistik HIV/AIDS
beberapa lalu kemaren. Entah mengapa saya begitu jadi ingin banyak tahu tentang
kisah ODHA atau cerita wanita itu
sendiri sebagai ODHA.
Kini
wanita itu duduk dikursi tepat menghadap saya. Menceritakan banyak hal
tentangnya. Wanita itu memiliki rambut warna hitam yang ikal. dan Kulitnya sawo matang.
Wanita
itu berpakaian rapi. Dengan corak bunga – bunga dibajunya. Dia berbicara ramah terhadap saya dan sesekali tersenyum bila saya
mulai bercanda. Matanya yang sayu itu banyak mengambarkan kisah – kisah lalunya
yang ingin disampaikannya terhadap saya ketika saya mulai rewel dan banyak
bertanya tentangnya. Wanita itu bernama Lulu.
Disini
Lulu atau saya sapa Mbak Lulu mulai menceritakan kisahnya sekaligus harapannya
tentang kota tercinta saya yaitu Samarinda.
Suatu
malam di pertengahan tahun 1994. Suamiku mengajak berbincang diteras orang
tuanya. Rumah itu cukup besar. Selain ada orang tuanya juga ada adik – adiknya
ujar mbak Lulu. Pada saat itu mereka belum mampu membeli rumah sendiri. Lalu
teman – teman mengajak untuk berangkat ke Papua tepatnya kota Merauke. Mengikuti
transmigrasi ujar suaminya tanpa melihat ke arah Lulu. Gimana ? mau ikut ? ikut
apa enggak ? Lulu hanya diam.
Akhinya
pada bulan September dengan ijin orang tua. Lulu dan sang suami ikut
transmigrasi dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik. Namun, bukan
kota merauke yang mereka tuju. Karena bus tua yang mereka tumpangi malah
membawa mereka ke penampungan transmigrasi.
Waktu
menuju daerah transmigrasi mereka menempuh perjalanan sehari. Lulu menambahkan
kalau pada saat itu jalan masih berupa tanah dan belum di aspal. Dan ketika
mereka tiba disana mereka langsung menempati rumah – rumah yang disediakan dan
disana Lulu dan suami sangat hidup hemat karena disana biaya hidup serba mahal.
Disana
para transmigrasi mendapat jatah tanah untuk dikerjakan untuk menghasilkan
panen. Para transmigrasi termasuk Lulu dan suami menanam sayur, padi dan
sebagainya. Namun yang menjadi kendala buruknya infrastruktur membuat hasil
panen kami sangat sulit.
Keadaan
inilah yang membuat sang suami frustasi. Lokalisasi itu tidak sesuai dengan
harapan suamiku ujar mbak Lulu. Sampai akhirnya suamiku mengajak ke kota. Siapa
tau di kota bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Akhirnya pada tahun 1995
Lulu beserta suami meninggalkan lokasi transmigrasi dan memutuskan ke kota Merauke.
Sesampai
di kota itu mendapat pekerjaan disebuah kapal. Dia menjadi anak buah kapal. Dia
bersama teman – temannya menangkap sirip ikan hiu. Aku sendiri sadar akan
kerjaan yang dia memiliki beresiko besar. Ya, mau apa dikata. Yang ada sekarang
Cuma itu ujar Lulu.
Tapi
tiba - tiba timbulah sebuah konflik yang Lulu dan sang suami tidak tau apa
pemicunya. Tau – tau sang suami pergi meninggalkannya dengan sebuah kapal. Dan
bisa dibilang Lulu pisah terhadap suaminya. Atau bisa dibilang lagi cerai
ilegal.
Pada
tahun 1997 Lulu menelusuri pelabuhan dengan harapan bisa bertemu dengan sang
suami. Tapi yang namanya harapan hanyalah tinggal harapan. dia masih tidak bisa
menemukannya saat itu. pikirannya juga terusik dengan bagaimana dia bisa hidup dikota
ini. hingga akhirnya. Lulu. Teriak wanita itu seketika mengagetkan lamunanya.
Wanita
itu adalah teman dilokasi transmigrasi. Wajahnya lumayan manis. Tingginya
hampir sama dengan Lulu. Dia kebih dulu pergi ke kota Merauke mencari
pekerjaan. Dia sudah lima tahun tinggal dikota Merauke. Mendengar kisah sedih
Lulu, dia menawarkan “ pekerjaan “ ujar lulu masih bercerita kepada saya.
Lulu
ikut temannya ketempat kerjaan yang ditawarkan kepadanya. Dia sangat terbuai
dengan kata – kata manis temannya itu. Temannya bilang ada sebuah warung makan
yang mau menerimanya berkerja disitu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu
jam menuju tempat yang dimaksud. Suasana tidak seperti yang dibilang tadi.
Yang
nampak malah sebuah rumah besar dengan kamar bersekat – sekat dan minibar yang
terpajang diruang tamu. Lulu jadi bertanya – tanya dalam hati. Katanya warung
makan tapi kenapa banyak cewek berpakaian minim. Belum lagi alunan musik keras
yang menghentak kedua telinga dan ditambah lagi kepulan asap rokok yang menebar
kemana – mana hingga membuat ruangan penuh asap rokok. Dengan mempunyai sedikit
keberanian, Lulu bertanya kepada seseorang disana. Mbak permisi saya mau tanya,
kalau boleh tau ini tempat apa ya ? mbak
itu terheran – heran dan dia memberika jawaban. “ ini tempat pelacuran “ mendengar jawaban itu mbak lulu merasa
jantungnya berhenti terdetak. Tapi dia segera tersadar, mau mundur rasanya
tidak mungkin.
Sejak
hari itu Lulu mulai terbiasa memakai pakaian minim dan merias diri didepan
cermin. Demi melayani “ tamu “ yang berkunjung ke “ wisma “. Wisma tempat
Lulu bekerja terdiri dari 16 kamar dan beberapa ruang tamu untuk menjamu
pelanggan. Lulu menambahkan dalam sehari paling tidak ada tiga pria kesepian
membutuhkan jasanya. Sekali kencan, Lulu paling sedikit memperoleh dua ratus
ribu rupiah. Bahkan tak jarang mereka membayar hingga empat ratus ribu rupiah.
Sebuah angka yang sangat besar pada saat itu. Uang hasil kerja keras itulah
Lulu kirim kekeluarga guna biaya keperluan anaknya yang memerlukan susu.
Tiba
– tiba saya kaget mendengar mbak Lulu bercerita tentang anak. Dia punya anak ?
bukankah dari tadi tidak ada penjelasan tentang anak ? kemudian mbak Lulu
menjelaskan cerita anaknya itu dan kita sedikit flasback sebentar.
Suatu
malam Lulu dan suami sedang jalan – jalan dipinggiran laut sambil menikmati
deburan ombak dan angin malam. Mereka duduk dihamparan pasir yang sangat luas.
Tanpa disengaja Lulu mendengar suara tangis bayi. Suara itu sayup – sayup
terdengar. Mereka mulai menghampiri tempat dimana suara itu terdengar. Sampai
akhirnya mereka menemukan sebuah karton bekas mie instan dan dengan tidak sabar
mereka membuka karton penutup itu. Dan mereka kaget sekali menemukan sosok bayi
yang masih merah.
Begitulah
cerita tentang bayi tersebut. Bayi itu di asuh sang keluarga dengan alasan saat
mereka berangkat transmigrasi tidak boleh membawa bayi. Kemudian saya meminta
mbak Lulu melanjutkan cerita sewaktu lokalisasi tadi. Tanpa ragu mbak Lulu
mulai bercerita lagi kepada saya.
Tanpa
terasa enam tahun sudah Lulu bekerja sebagai pelacur. Berbagai pria yang pernah
singgah di wisma tidak pernah dia tolak. Hingga suatu malam nafasnya terasa
sesak, batuk berkepanjangan tidak kunjung sembuh meski sudah berbagai macam
obat batuk sudah ia minum. Tiba – tiba saja kepalanya mendadak berat lampu
kamar terasa berputar. Lalu tiba – tiba semunya nampak hitam pekat. Ketika dia
membuka mata, nampak olehnya teman – teman memandang dengan tatapan cemas.
Rupanya Lulu pingsan dan dibawa teman – temannya ke klinik yang letaknya tidak
begitu jauh dari tempatnya bekerja.
Lalu
tahun 2003 dibulan september ini awal malapetaka yang datang tiba – tiba sakit
yang tidak kunjung sembuh membuatnya diliputi rasa ketakutan luar biasa. Dia
terbaring sakit dan otomatis tidak bisa melayani tamu seperti biasa. Tiba –
tiba datang seorang petugas dari yayasan menyuruhnya untuk memeriksakan keadaan
Lulu. Tapi Lulu sempat bertanya apa ada resikonya yang akan dia terima.
Mengingat dia punya penyakit bawaan dari kecil yaitu jantung. Dan petugas itu
mengatakan kamu tidak perlu takut darah kamu Cuma diambil berapa saja. Kalau
kamu bersedia besok ada dua orang yang mau tes darah. Kita berangkat sama –
sama.
Besok
paginya Lulu dan dua orang temannya yang ditemani petugas yayasan kerumah sakit
untuk melakukan tes. Esoknya mereka
kembali kerumah sakit umum Merauke lagi untuk mengetahui hasil tes mereka.
Didepan meja dokter tergeletak tiga lembar amplop. Dimasing – masing amplop
tertera kode angka sama nama. Temannya mendapat panggilan pertama lalu disusul
oleh teman keduanya. Lulu masih harap – harap cemas menunggu namanya dipanggil.
Setelah dua orang sudah berada diluar. Kini gilirannya dipanggil. Lulu langsung
duduk dan dokter menyakan apa betul namamu Lulu. Betul jawabnya Lulu dengan
siap. Setelah berulang – ulang kali diberikan pertanyaan yang sama. Lulu
langsung bilang ke dokter. “ sudah deh apapun hasilnya saya sudah siap “
melihat cara Lulu bebicara, dokter langsung bilang “ kamu positif HIV “
mendengar itu Lulu serasa mau runtuh dan mau pingsan. Dokter juga memberi nasihat
kepadanya, kamu tarik nafas kalau teman – teman kamu tanya, bilang saja hasil
kamu negatif. Lulu pun mengikuti saran itu dan begitu dia di tanya oleh teman –
temannya, dia langsung memberikan jawaban negatif lalu mereka kembali ke wisma
seperti biasa.
Tentu
saja setelah membaca surat itu Lulu tidak bisa tidur. Bantal yang dia pakai
basah oleh air mata. Kini yang ada dalam pikirannya hanyalah kematian. Malaikat
pencabut nyawa begitu dekat dengannya yang dia tahu tentang AIDS hanyalah
kematian. Penyakit kotor, kutukan dan pengucilan. Sejak hari itu hingga
seminggu lebih dia jarang keluar kamar. Kerjaanya merenung, menangis dan hanya
bisa menatap nasib.
Tepat
sebulan setelah dia dinyatakan positif HIV/AIDS. Lulu mengambil jalan pintas
dengan cara meneguk cairan pembasmi serangga dan obat nyamuk bakar. Dengan cara
bisa mengakhiri hidupnya tapi sayang tuhan berkehendak lain.
Berkat
kesabaran teman – temannya dan beberapa petugas yang memberi pemahaman HIV/AIDS
Kepadanya. Dan dia juga banyak sharing dengan teman – teman yang bernasib sama.
Dia bergabung di yayasan merauke support group. Dia mulai sering dilibatkan
dalam kegiatan apapun. Dia juga pernah bicara diforum publik. pada saat malam
renungan nusantara pada tahun 2004 itu pertama kalinya dia berbicara terbuka
didepan publik.
Hari
– hari berikutnya dia disibukkan dengan kegiatan yayasan merauke support group.
Dia berusaha menambah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Membagi pengalaman.
Sehingga kondisi ini membuat teman – temannya percaya akan perubahan Lulu.
Kegitan ini membuatnya terdengar hingga kampung halaman.
Sampai
suatu hari dia pulang ke kampung halaman untuk bertemu anak semata wayangnya.
Tapi bukan sambutan yang manis didapatkan saat dia pulang. Melainkan pertanyaan
macam – macam seperti apakah kamu kerja di tempat pelacuran. Sampai benarkah
kalau Lulu mengidap HIV/AIDS. Semua pertanyaan itu jawab jujur oleh Lulu.
Ibunya akhirnya melontarkan kata – kata “ Ibu lebih baik kehilangan anak yang
kena HIV/AIDS “. Kata – kata itu sangat menyakitkan. Ibu Lulu itu tau statusnya
yang sebenarnya dari mulut teman Lulu yang berbicara langsung pada Ibunya. Dia
juga tidak sempat menemui anaknya karena anaknya sudah tiada lagi di dunia ini.
Akhirnya
dia ke Jakarta dan menumpang di yayasan Jakarta selama satu minggu. Dia banyak
belajar dari yayasan itu tentang HIV/AIDS disana. Banyak hal yang yang bisa dia petik sebagai pelajaran. Tapi alangkah baiknya jika
pengetahuan ini dia sebarkan keseluruh daerah lain ujarnya. Setelah berdiskusi
dan akhirnya memutuskan untuk ke Jayapura.
Di
Jayapura tepatnya tahun 2005. Dia mulai bergabung di kelompok dukungan sebaya
jayapura. Dia banyak sharing dengan teman – teman senasib dan menjalani terapi
kembali disana.
Tahun
2006 Lulu mulai menginjakan kaki di Samarinda. Dia sempat menjadi pembantu
rumah tangga selama satu tahun dan sampai sekarang seisi rumah tidak tahu
tentang keberadaan dia sebenarnya. Sekarang selain dia mempunyai pekerjaan baru,
dia juga masih aktif di berbagai kegiatan tentang HIV/AIDS disamarinda.
Dan
dia juga membentuk kelompok dukungan sebaya atau KDS Mahakam plus. Kelompok itu
dibentuk oleh Lulu dan teman – temannya dalam beberapa elemen seperti PMI,
PKBI, KPA dan pihak rumah sakit. Selain sebagai kordinator mahakam plus, dia
sebagai konselor sebaya.
Lalu
ketika saya bertanya apakah ada harapan mbak Lulu selama tinggal di Samarinda ?
apakah ada yang ingin disampaikan kepada kota tercinta ini. Mbak Lulu tersenyum
lalu mulai berbicara lagi.
Harapan
Lulu kepada warga samarinda khususnya para remaja. Hindarilah sex bebas karena
itu bisa beresiko HIV/AIDS. Juga jarum suntik bergantian. Juga kepada
pemerintah untuk bantuannya. Selama ini mana ? masa kalah dengan Anjal ujarnya.
jangan melulu dengan obat. Emang HIV/AIDS ada obatnya ?
Juga
sediakanlah rumah singgah buat kami. Masa kita kalah sama daerah lain yang
memiliki rumah singgah. Karena salah satu dari saya bila datang dari luar kota
larinya bakal kemana katanya sambil penuh harapan.
Setelah
berkata seperti itu, saya bertanya lagi apa yang membuat mbak bisa kuat
menjalani hidup ini ? dia tersenyum lalu berkata.
“ saya sedang menikmati sisa hidup ini dan
teruslah melihat kedepan walaupun sesekali
boleh liat kebelakang tapi jangan melihat kebelakang terus “
Saya
terdiam mendengar itu lalu saya iseng bertanya kepadanya “ kalau liat
kebelakang terus kenapa mbak ? lalu dia menjawab “ bisa ketabrak “ dan kami
tertawa bersama sekaligus menutup obrolan kami.
1 komentar:
Mau Mendapatkan Bonus Poker Online yang berlimpah dan jackpot yang besar gabung
sekarang juga di
Poker Online Terpercaya
Daftar Donacopoker
Donaco Poker
judi kartu online
BBM : DC31E2B0
LINE : Donaco.poker
WHATSAPP : +6281298526483
Posting Komentar